Banyuwangi Bukan Cuma punya Kawah Ijen
Tujuan utama tentu saja adalah mendaki Kawah Ijen!
Wisata paling terkenal di Banyuwangi tentu saja adalah Kawah Ijen. Kami mengunjungi tempat ini karena si ayah ingin mengajak anak-anak mendaki gunung. Tentunya, saya harus ikut serta karena tidak mungkin ditinggal, bukan? Setelah bertanya ke sana-sini, akhirnya saya memutuskan untuk memilih paket dari Blueflame Ijen Tour. Paketnya sudah lengkap, termasuk mobil, masker khusus, kacamata, tongkat hiking, tiket masuk, pemandu, serta bonus tambahan kunjungan ke air terjun dan kebun kopi setelah pendakian, semuanya dengan harga 1,2 juta rupiah. Sebenarnya, tanpa paket tur pun masih memungkinkan, karena di sekitar pintu masuk banyak toko yang menyewakan masker khusus dan kacamata. Tinggal sewa mobil, bisa lebih murah. Namun, karena membawa anak kecil, saya merasa lebih aman jika menggunakan jasa pemandu.
Pendakian akan dimulai pada pukul 2 dini hari, saat pintu gerbang dibuka. Kami berangkat dari hotel pukul 12:45, dengan perjalanan sekitar 40 menit. Sesampainya di gerbang masuk, pemandu mengajak kami beristirahat sejenak di warung kopi sambil mempersiapkan diri untuk mendaki. Tepat pukul 2:00, bersama ratusan orang lainnya, kami memulai pendakian menuju Kawah Ijen.
Di awal pendakian, saya tergoda untuk mengikuti langkah anak-anak yang tentunya berjalan sangat cepat, seperti kancil. Namun, tak lama kemudian saya sudah kelelahan, dan si ayah terus mengingatkan saya untuk berjalan pelan-pelan saja. Akhirnya, anak-anak berjalan bersama pemandu, sementara saya ditemani oleh si ayah.
Sebenarnya, di Ijen banyak yang menawarkan jasa troli yang ditarik orang untuk naik ke atas dengan biaya 1,5 juta rupiah pulang-pergi. Tapi, saya merasa gengsi dengan anak anak, lagi pula sambil mengajarkan kepada anak anak supaya tidak gampang menyerah. Kalau mau berusaha pasti bisa!
Bagian paling berat menurut saya adalah setelah pos 3, karena kemiringannya cukup terjal, jadi saya sering berhenti untuk istirahat. Anak-anak dan pemandu yang sudah lebih dulu sampai di tiap pos, menunggu kami sebelum melanjutkan perjalanan setelah saya dan si ayah tiba.
Setelah pos 6, jalurnya sudah cukup datar, sehingga saya bisa mengatur napas dengan lebih baik sebelum mencapai puncak. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak adalah sekitar 2 jam. Cukup lumayan, karena menurut yang saya baca, waktu normalnya memang sekitar 2 jam. Mungkin anak-anak bisa naik lebih cepat jika tidak bersama saya.
Dari puncak Kawah Ijen, bagi yang ingin melihat blue fire, bisa turun ke arah kawah. Fenomena blue fire ini hanya dapat dilihat saat dini hari, sebelum matahari terbit. Saat turun, masker khusus harus digunakan karena bau belerang yang menyengat. Ketika kami berkunjung, bau belerang tidak terlalu kuat, mungkin karena hujan. Blue fire di Ijen ini dikabarkan sebagai yang terluas di dunia, dan memang benar-benar bagus!
Saat mendaki Ijen di dini hari, biasanya tantangan terbesar adalah menunaikan salat subuh. Namun, Alhamdulillah sekarang sudah tersedia pendopo untuk salat dan juga kamar mandi, sehingga kita bisa salat subuh tanpa harus khawatir melewatkannya karena mendaki.
Saat turun dari Ijen, jalannya cukup licin karena hujan, dan banyak bapak-bapak penarik troli yang menawarkan jasa dengan tarif 500 ribu rupiah dari puncak. Di tengah perjalanan, tarifnya turun menjadi 200 ribu rupiah. Ternyata, cukup banyak orang yang menggunakan troli meskipun hanya untuk turun. Mereka bilang, turun gunung memerlukan kekuatan ekstra untuk menahan beban, yang sering membuat betis terasa sakit, sehingga lebih nyaman menggunakan troli.
Kalau memang tidak kuat, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri; menurut saya, naik troli juga tidak masalah. Troli memang memudahkan. Tapi, saya merasa gengsi tadi itu, terutama di depan anak-anak dan suami. Kalau dengan orang lain, sih, saya tidak peduli, hahaha.
Menurut saya, mendaki Ijen tingkat kesulitannya moderat. Jalurnya sudah sangat baik untuk ukuran hiking, namun tantangannya ada pada kemiringan tajam setelah pos 3. Selain itu, pendakian dilakukan pada malam hari, jadi terasa lebih melelahkan. Bayangkan saja, mendaki gunung pada jam 2 pagi! Mungkin kalau mulai setelah subuh, pendakiannya akan terasa lebih ringan.
Bagi anak-anak yang suka alam dan olahraga, mendaki Ijen sangat direkomendasikan. Tapi kalau untuk saya, sebenarnya lebih suka bersantai di pantai!
Taman Nasional Baluran alias savana van Java
Selain Kawah Ijen, jangan lupa untuk mampir ke Taman Nasional Baluran. Savananya indah, terutama bagi saya yang baru pertama kali melihat savana. Rumput dan ilalang yang berwana coklat tampak begitu cantik. Di sini, banyak sekali monyet, jadi hati-hati kalau membawa HP, karena bisa saja diambil oleh monyet yang iseng.
Binatang yang paling sering terlihat adalah kijang, kancil, dan kerbau (selain monyet, tentu saja). Beberapa merak juga terlihat, meski agak jauh dari jalan. Kita tidak diperbolehkan masuk ke dalam hutan. Sayangnya, kami belum beruntung untuk bertemu banteng. Katanya, kalau ingin lebih pasti melihat banteng, sebaiknya pergi ke Alas Purwo. Namun, jaraknya cukup jauh dari kawasan Ijen. Kalau ingin ke sana, bisa sekalian mengunjungi objek wisata pantai di daerah selatan.
Selain savana, hutan mangrovenya juga menarik untuk dikunjungi. Sayangnya, jalur yang dibuka untuk pengunjung cukup pendek. Padahal, jika rutenya dibuat lebih panjang untuk hiking, pasti akan sangat menarik. Pohon-pohonnya besar dan akarnya lebat, menciptakan suasana yang asri. Namun, pantainya menurut saya biasa saja, bahkan sedikit bau, mungkin karena banyak monyet di sekitarnya.
Basring – Tabuhan – Menjangan
Awalnya, tujuan kami ke sini adalah untuk snorkeling, tapi setelah melihat beberapa ulasan, kami jadi kurang tertarik. Bukan karena tempatnya tidak bagus, tapi karena kami sudah pernah melihat lokasi snorkeling yang lebih menarik. Berdasarkan percakapan dengan agen tur, snorkeling di sini memang bukan daya tarik utama Banyuwangi, dan banyak terumbu karangnya yang masih dalam tahap rehabilitasi. Di Basring, ada rumah apung untuk melihat ikan-ikan termasuk hiu, tetapi ketika kami berkunjung, tempat itu tidak memenuhi ekspektasi. Gambar-gambar di Instagram sering kali terlalu dibesar-besarkan.
Akhirnya, kami hanya mampir ke Pulau Tabuhan, duduk-duduk menikmati pantai dan pasir putihnya sambil minum kelapa muda. Setelah itu, kami kembali lagi. Sayangnya, biaya carter boatnya cukup mahal, 600 ribu rupiah hanya untuk ke Pulau Tabuhan, dan boatnya digunakan bergantian dengan orang lain karena kekurangan boat. Jadi, kami harus menunggu. Bagaimana bisa disebut carter boat kalau kita kemudian ditinggal dan disuruh menunggu? Sangat tidak direkomendasikan, menurut saya.
Hutan Dejawatan
Tempat lain yang cukup saya rekomendasikan adalah Dejawatan. Hutan ini memiliki suasana seperti di film “Lord of the Rings” dengan pohon-pohon besar yang menakjubkan dan instagrammable. Banyak orang yang datang ke sini untuk berfoto dengan bantuan fotografer. Memang, tempat ini sangat bagus sebagai latar belakang foto. Namun, banyak nyamuk di sini, dan saya merasa salah kostum karena hanya memakai sandal jepit, padahal seharusnya memakai sepatu. Namanya juga di hutan, pasti banyak nyamuk, semut, dan sebagainya.
Kepada supir, kami minta tolong untuk mengantar hingga ke parkiran tengah agar tidak terlalu banyak berjalan, mengingat kami baru saja selesai hiking di Ijen. Namun, sebenarnya hutan di Dejawatan tidak begitu luas. Jalan dari pintu depan hingga ke dalam hanya sekitar 1 kilometer. Akhirnya, kami malah berkeliling hutan kembali ke pintu depan, jadi sepertinya tidak ada gunanya supir mengantar sampai ke tengah.
Sumur asal usul Banyuwangi
Tempat persinggahan terakhir kami adalah Sumur Asal Usul Banyuwangi. Dahulu, sumur ini merupakan mata air atau bahkan sungai, sebelum akhirnya diubah menjadi sumur. Konon, sumur ini mengeluarkan bau wangi, meski tidak semua orang bisa merasakannya. Ketika saya berkunjung, saya memang mencium aroma bunga yang harum. Entah itu bau bunga atau bau dari sumurnya, saya tidak bisa memastikan. Kalau kata pak petugas, tidak ada bunga yang wangi di sekitaran sumur, tapi saya lihat ada melati. Apakah itu memang wangi sumur ataukah wangi melati, saya juga masih penasaran sampai sekarang.
Selain mengunjungi Sumur Asal Usul Banyuwangi, di lokasi ini juga terdapat replika rumah adat Osing. Bagi yang tidak sempat mengunjungi Kampung Osing, replika rumah adat ini bisa menjadi alternatif untuk melihat bagaimana bentuknya. Tempat ini sangat terjaga dan bersih, karena berada di area yang sama dengan rumah dinas Walikota Banyuwangi. Meskipun ada polisi yang berjaga, mereka sangat ramah, jadi tidak perlu khawatir.
Setelah kunjungan ke sumur ini, anak-anak jadi lebih memahami sejarah asal-usul Banyuwangi. Ini adalah kesempatan yang baik bagi mereka untuk belajar tentang sejarah kota-kota di Indonesia. Meskipun mereka tidak tinggal di Indonesia, penting untuk tetap mengenal dan menghargai asal-usul mereka.
Recent Comments