3D2N Tanjung Puting – Orang Utan Ecotrip

Karena cerita temannya tentang ecotourism di Tanjung Puting, si ayah jadi sangat bersemangat untuk liburan musim panas 2024 ke Indonesia dan menjadwalkan perjalanan ke Tanjung Puting untuk menikmati river cruise di Sungai Sekonyer dengan kapal klotok dan melihat orangutan.

Sejak musim panas 2023, mama sudah mulai sibuk mencari tour dan travel untuk liburan ke Tanjung Puting. Ada berbagai pilihan, mulai dari paket budget dengan harga sekitar 1,75 juta per orang hingga paket luxury seharga 10 juta per orang. Tentu saja, fasilitas yang ditawarkan tergantung pada harga yang dibayar. Kapal kecil biasanya lebih murah, sedangkan kapal yang lebih besar dengan fasilitas lebih lengkap harganya lebih mahal.

Harga yang disebutkan adalah untuk private trip dengan 4 orang dalam satu kapal, selama 3 hari 2 malam, sudah termasuk semua biaya seperti tiket masuk taman nasional, tiga kali makan ditambah 1-2 kali snack, ranger, kru kapal, dan tukang masak pribadi.

Setelah membandingkan beberapa pilihan, mama akhirnya memutuskan untuk menggunakan paket dari Orangutan Days Tour. Walaupun awalnya ragu karena website mereka belum jadi dan respon IG yang lambat, mama merasa lebih yakin setelah melihat review dari Mas Kristian yang juga menggunakan layanan mereka. Kontak melalui WhatsApp ternyata lebih cepat, jadi mama memutuskan untuk booking sekitar 3 bulan sebelum keberangkatan, membayar DP 50 persen dan melunasi sisanya 10 hari sebelum hari H.

Penjemputan dari bandara Pangkalan Bun dilakukan oleh tour guide kami, Mas Oji, yang akan mengantar kami ke pelabuhan Kumai tempat kapal klotok berlabuh. Kami terbang dengan Citilink dari Jakarta, dan ada tiga maskapai yang melayani rute Jakarta-Pangkalan Bun: Citilink, Batik Air, dan NAM Air. Ketiga maskapai ini memiliki jadwal pagi sekitar jam 6 WIB dari Jakarta.

Perjalanan ke Pangkalan Bun memakan waktu sekitar 1 jam 20 menit, dan harga tiket pesawatnya jauh lebih murah dibandingkan dengan tiket ke Labuan Bajo, yang kami kunjungi lima tahun lalu.

Sesampainya di bandara Pangkalan Bun, mama langsung teringat dengan bandara di Pekanbaru waktu kecil. Bandara ini mirip sekali, mungkin karena ukurannya yang kecil. Di bandara, tour guide kami, Mas Oji, sudah siap menjemput dan mengantar kami ke pelabuhan tempat kapal klotok berlabuh.

Sebelum keberangkatan, Mas Oji menjelaskan rute perjalanan kami selama 3 hari 2 malam. Eh, tiba-tiba si ayah meminta agar diadakan night trekking, padahal di itinerary sudah jelas tidak ada. Mama juga ngeri, mengingat hutan liar Kalimantan yang terkenal dengan banyaknya ular, zzzz.

Akhirnya, perjalanan dengan kapal klotok pun dimulai. Kenapa disebut kapal klotok? Ternyata karena suara mesin yang mengeluarkan bunyi “klotok-klotok-klotok,” hahaha. Suara ini memang khas untuk kapal kecil. Untuk kapal yang lebih besar, bunyinya tidak terdengar seperti itu karena menggunakan mesin truk, kata Mas Oji. Namun, istilah “kapal klotok” tetap digunakan untuk semua jenis kapal di Sungai Sekonyer.

Pada hari pertama, kami mengunjungi dua camp untuk melihat feeding orangutan, yaitu Tanjung Harapan dan Pondok Tanggui. Begitu memasuki Sungai Sekonyer, kami langsung melihat perbedaan antara air laut dan air sungai—suatu pemandangan yang benar-benar menakjubkan! Kami baru menyadari betapa jelasnya perbedaan tersebut.

Belum lama berlayar, kami sudah langsung melihat buaya besar yang sedang berenang di tepi sungai. Wah, buaya Kalimantan memang besar sekali! Mama langsung menarik anak-anak menjauh, takut mereka terjatuh ke dalam sungai.

Saat mendekati Tanjung Harapan, kami berhenti untuk makan siang. Hidangannya mewah, terutama bagi kami yang suka dengan makanan laut, seperti ikan dan udang. Setelah makan, kami langsung bersiap menuju camp Tanjung Harapan. Ternyata, sudah banyak kapal yang berlabuh di sana, dan mayoritas pengunjungnya adalah turis asing. Kami bertanya-tanya mengapa demikian. Mungkin karena promosi yang kurang atau mungkin memang kurang menarik bagi wisatawan lokal. Padahal, dari segi harga, trip ke sini jauh lebih terjangkau dibandingkan perjalanan ke Labuan Bajo atau Derawan.

Saat kami tiba di Tanjung Harapan, feeding time baru saja dimulai, dan banyak sekali orangutan yang datang dari berbagai arah. Anak-anak sangat menikmati melihat orangutan yang sibuk makan pisang dan ubi, terutama saat mereka melihat dua bayi orangutan yang saling berebut makanan dan berkelahi!

Setelah kunjungan ke Tanjung Harapan, kami kembali ke kapal dan disambut dengan jus mangga segar dan pisang goreng—heaven! Kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Tanggui, yang memakan waktu sekitar 1 hingga 1,5 jam. Kapal tidak bisa melaju cepat, tapi itu justru menyenangkan dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Kami bisa bersantai sambil berbaring di kapal.

Di Pondok Tanggui, jalan menuju area feeding sedikit lebih jauh dibandingkan di Tanjung Harapan, tapi masih cukup terjangkau. Di sini, kami melihat lebih banyak orangutan betina yang membawa bayi atau balita mereka. Sangat menggemaskan melihat bayi-bayi orangutan bergelantungan di tubuh mamanya. Anak kicik juga ikut senang melihat bayi-bayi yang terus menempel pada mamanya, mirip dengan kebiasaannya sendiri. Selain itu, orangutan di sini sebagian besar berumur lebih tua dibandingkan yang ada di camp sebelumnya.

Di Pondok Tanggui, kami juga melakukan night trekking pada malam hari. Tempat ini dipilih karena lokasinya tidak terlalu jauh dari pelabuhan Kumai, sehingga sinyal ponsel masih ada dan jika terjadi sesuatu, kami bisa dengan cepat dibawa ke daratan.

Night trekking sebenarnya tidak terlalu disarankan karena jika terjadi sesuatu, seperti gigitan ular atau hewan berbisa lainnya, fasilitas medis di sini belum memadai. Jika terjadi kecelakaan, kita harus dibawa ke rumah sakit di Kumai. Mengingat hutan belantara ini, risiko bertemu binatang liar, terutama di malam hari, cukup tinggi.

Selama trekking malam, kami didampingi oleh night ranger yang sangat berpengalaman dengan medan di Pondok Tanggui. Pak ranger memperlihatkan kami ular hijau berbisa yang sedang bersantai di atas pohon. Dia sibuk menggunakan senter untuk mengamati ular tersebut, sementara saya sudah cemas melihat ular yang tampaknya terganggu dan bisa saja turun dari pohon! Ranger mengatakan bahwa ular ini termasuk jenis yang malas, jadi tidak terlalu berbahaya meski disenter. Namun, tetap saja, dengan ular berbisa, kita tidak pernah tahu bagaimana reaksinya.

Selain ular, kami juga menemui semut raksasa, tarantula, laba-laba, burung malam, dan ulat bulu berbisa yang bisa menyebabkan kerusakan saraf. Sungguh pengalaman yang mendebarkan!

Setelah night trekking, kami kembali ke kapal untuk makan malam. Kapal sudah siap dengan kelambu di setiap tempat tidur. Menjelang malam, ruang tamu dan kursi-kursi diubah menjadi area tidur dan dipasang kelambu karena nyamuk di sini sangat ganas. Selain nyamuk, ada juga ranggit yang gigitannya bisa sangat gatal dan lama hilangnya. Kami rutin mengoleskan obat nyamuk pada diri kami dan anak-anak. Alhamdulillah, gigitan nyamuk tidak terlalu banyak. Di kapal juga dipasang obat nyamuk untuk membantu mengusir serangga tersebut.

Kapal berlabuh di tepi sungai dekat Pondok Tanggui dan berhenti untuk malam. Kapten juga perlu istirahat! Malam pertama, langit sangat cerah tanpa awan, dan dari tempat tidur kami bisa melihat ratusan bintang yang menerangi langit. dan nikmat Tuhan manakan yang engkau dustakan!

Pagi-pagi kami terbangun karena suara ribut dari binatang-binatang di hutan sekitar, termasuk gibbon atau siamang/wakwak. Hari ini kami akan menuju Camp Leaky, lokasi terjauh dari Pelabuhan Kumai, dengan perjalanan yang memakan waktu sekitar 3-4 jam dari Pondok Tanggui.

Selama perjalanan, kami menyaksikan berbagai burung berwarna-warni dan monyet-monyet yang bergelantungan di pohon-pohon sepanjang tepi sungai. Setibanya di Camp Leaky, kami makan siang terlebih dahulu sebelum melanjutkan trekking ke feeding area. Tempatnya agak masuk ke dalam, namun vegetasi di sepanjang perjalanan jauh lebih menarik dibandingkan dengan dua camp sebelumnya. Kami menemukan banyak tumbuhan pemakan serangga. Anak kicik sangat antusias, hingga sempat dibuat cemas oleh abangnya yang bercanda, “Hati-hati, nanti jarimu bisa dimakan!”

Sesampainya di feeding area, kami tidak hanya melihat orangutan, tetapi juga siamang. Meskipun biasanya siamang tidak ikut bergabung dengan orangutan saat mencari makan, kali ini ia terlihat duduk sendirian di atas pohon.

Di Camp Leaky, orang utan yang datang ke feeding area gak sebanyak di 2 camp sebelumnya. Menurut mas Oji, ini karena vegetasi yang menjadi makanan orang utan di camp leaky lebih banyak dibandingkan di 2 camp sebelumnya. Sehingga mereka gak perlu datang ke feeding area untuk mencari makan.

Yang menarik di Camp Leaky adalah adanya rute trekking yang lebih panjang dibandingkan dengan camp lainnya. Setelah selesai di feeding area, kami memanfaatkan kesempatan untuk trekking menyusuri area sekitar. Kami bahkan bertemu dengan orangutan yang sedang bergelantungan di atas pohon di sepanjang jalan!

Setelah kunjungan di Camp Leaky, kapal kami kembali menuju Pelabuhan Kumai. Sepanjang perjalanan, kami beruntung melihat banyak bekantan, siamang, dan makak. Kelompok-kelompok bekantan terlihat berkumpul, mulai dari yang dewasa hingga anak-anak dan bayi yang digendong oleh induknya!

Di malam kedua, pak kapten dan mas Oji sengaja mencari tempat yang ada kunang kunangnya. Permintaan saya sebenarnya. Soalnya anak kicik belum pernah melihat kunang kunang. Dan alhamdulillah rejeki, ketemu pohon yang banyak sekali dihinggapi kunang kunang. Akhirnya malam itu kami tidur ditemani kunang kunang. Kelihatan persis di depan kelambu, seperti lampu yang berkelap kelip.

Pagi harinya kapal langsung berangkat menuju pelabuhan Kumai, on the way to the airport, kami berhenti di rumah adat suku Dayak. Ternyata masih tutup. Ya sudah saya foto foto aja di luarnya, sambil mas Oji menjelaskan tentang suku dayak dan bagian bagian rumah dari luar. Eh tidak lama ternyata si Ibu yang bawa kunci datang. Akhirnya kita malah bisa masuk liat bagian dalam rumah!

Setelah mengunjungi rumah adat, kami langsung menuju bandara untuk mengejar penerbangan ke Surabaya. Kali ini kami terbang dengan Batik Air, karena pilihan lainnya hanya NAM Air. Setibanya di bandara, kami terkejut melihat antrian panjang yang mengular, karena sistem check-in masih manual dan harus dilakukan satu per satu. Beruntung, si ayah yang cerdik bertanya ke counter check-in untuk penerbangan ke Jakarta yang sudah mulai boarding, dan ternyata kami diizinkan untuk check-in di sana. Alhamdulillah, kami akhirnya bisa menghindari antrian panjang dan masuk ke ruang tunggu tanpa menunggu terlalu lama.

Bye bye Tanjung Puting, till we meet again!